Selasa, 12 Oktober 2010

Mengapa Saat ini Banyak Pekerja Tidak Termotivasi Ketika Bekerja ?


Saya sering mendengar manajer yang berpengalaman mengeluh, bahwa "orang-orang tidak lagi termotivasi untuk bekerja."  Jika ini benar, kesalahannya terletak pada manajer dan praktik organisasi, bukan pada karyawan! Ketika karyawan kehilangan motivasi, persoalannya hampir selalu terletak pada salah satu lima wilayah : seleksi, sasaran yang ambigu, sistem penilaian kerja, sistem penghargaan organisasi, atau ketidakmampuan manajer dalam membentuk persepsi karyawan mengenai sistem penilaian dan penghargaan.

Cara terbaik untuk memahami motivasi karyawan ialah membayangkan bahwa motivasi  itu bergantung kepada tiga hubungan. Ketika ketiga hubungan ini seluruhnya kuat, karyawan cenderung termotivasi. Jika salah satu atau lebih dari hubungan-hubungan ini lemah, upaya karyawan cenderung menjadi lemah. Saya akan menyajikan hubungan-hubungan ini dalam bentuk pertanyaan.

PERTAMA, apakah karyawan menyakini bahwa jika mereka berusaha secara maksimum, usaha itu akan diakui didalam penilaian kerja mereka? Bagi kebanyakan karyawan , sayangnya, jawabannya : TIDAK. Mengapa ? tingkat ketrampilan mereka mungkin menurun, yang bermakana bahwa betapapun kerasnya mereka berusaha, mereka tidak mungkin menjadi high performer atau berprestasi tinggi. Atau, apabila sistem penilaian kinerja organisasi dirancang untuk menilai faktor-faktor nonkinerja (nonperformance factor), semacam loyalitas atau inisiatif, ikhtiar yang lebih besar sekalipun tudak akan serta merta menghasilkan serta merta menghasilkan penilaian yang lebih tinggi. Kemungkinan lainnya ialah bahwa karyawan , benar atau salah , mempersepsikan bahwa dirinya tidak disukai oleh bos, Sebagai akibatnya, karyawan tersebut akan menduga ia akan mendapatkan penilaian yang buruk dengan mengabaikan tingkat usahanya. Contoh-contoh ini menyatakan, salah satu sumber yang mungkin bagi rendahnya motivasi karyawan ialah keyakinan karyawan bahwa betapapun kerasnya mereka bekerja, sepertinya rendah kemungkinan untuk memperoleh penilaian kinerja yang bagus.

KEDUA, apakah karyawan menyakini bahwa jika mereka memperoleh penilaian kinerja yang bagus, ini akan mendatangkan penghargaan dari organisasi ? Banyak karyawan melihat lemahnya hubungan antara kinerja dan penghargaan dalam pekerjaan mereka. Alasannya, organisasi memberi penghargaan pada banyak hal disamping kinerja. sebagai misal, ketika gaji dialokasikan kepada karyawan berdasarkan senioritas atau dengan "menjilat" sang bos, karyawan cenderung melihat hubungan antara kinerja dan penghargaan sebagai lemah dan tidak termotivasi. 

KETIGA, apakah penghargaan yang diterima oleh karyawan adalah penghargaan yang mereka inginkan? Seorang karyawan mungkin bekerja keras dengan harapan memperoleh promosi, tetapi yang ia dapatkan adalah kenaikan gaji. Atau seorang karyawan mungkin menginginkan pekerjaan yang lebih menarik dan menantang, namun hanya menerima beberapa patah kata pujian. Atau seorang karyawan mungkin melakukan usaha ekstra, dengan harapan bakal dipindahkan ke kantor perusahaan di Paris, tetapi ia malah dialihkan ke Cibitung. Contoh-contoh ini mengilustrasikan pentingnya menyesuaikan penghargaan dengan kebutuhan karyawan individual. Sayangnya, jumlah penghargaan yang dapat didistribusikan oleh kebanyakan manajer bersifat terbatas, sehingga sukar bagi mereka untuk mengindividualisasi penghargaan tersebut. Lagipula sebagian manajer mengasumsikan secara tidak tepat bahwa seluruh karywan menginginkan hal yang sama dan mengabaikan efek motivasional dari membeda-bedakan penghargaan. Dalam setiap kasus motivasi karyawan kurang dioptimalkan.
 
Secara ringkas, banyak karyawan kehilangan motivasi kerja karena mereka melihat hubungan yang lemah antara USAHA dan KINERJA mereka, antara KINERJA dan PENGHARGAAN organisasi, atau antara penghargaan yang mereka terima dan penghargaan yang benar-benar mereka inginkan. Jika anda ingin karyawan termotivasi, anda perlu melakukan apa yang perlu untuk memperkuat hubungan-hubungan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar